Jangan Mencariku
Bahagia itu selalu ada dan banyak
macamnya, ita hanya perlu bersyukur dan menyadari bahwa kita selalu memilikinya—meski
hanya dalam bentuk yang sederhana. Begitu kata orang-orang bijak. Tapi bukankah
itu juga sebuah penyangkalan, bahwa sebetulnya kita hanya diizinkan punya porsi
terbatas untuk bahagia?
Kamu tahu? Terkadang, cukup dengan
melihatmu bahagia dari jauh ku temukan bahagiaku. Bahagia yang ku cari bukan
sebab datang dengan maunya sendiri; semu memang. Tapi setidaknya lebih baik
daripada membencimu, bukan? Bahagia ini seperti dipaksakan, aku tak punya lagi
pilihan dan menganggap kamu kisah lama yang aku mesti lupa dan aku belum pintar melakukannya.
Meski entah, ini memang bahagia yang
sesungguhnya, atau imajinasiku terlalu terlatih untuk mengada-ada? Entah…
dengan melihatmu tersenyum aku juga merasakan yang sama, atau semua hanya
karena aku tak lagi memiliki pilihan? Terkadang lucu, jika memang benar ada wujud bahagia seperti itu. Padahal kalau
boleh jujur, aku ingin bahagiamu yang dibagi denganku. Kupandang sebuah pohon
dengan tatapan penuh kagum sebab bagaimana bisa ia tetap berdiri tegak,
sementara melihat dedaunan yang selama ini dipertahankannya, justru jatuh dan
kemudian meninggalkannya? Atau, ini hanya salah satu cara semesta untuk
mengajarkanku lebih kuat.
Kuat itu aku, yang telah lama jauh
terjatuh padamu, tahu sakitnya luka, namun harus terus mengulanginya saja. Lemah
itu kamu, datang sebab terluka, lalu pergi sebab bosan dijaga. Barangkali jika
ada kekacauan di poros bumi ini dan semua hal jadi terbalik, aku baru paham
caramu yang mudah pergi. Ataupun kamu kelak mengerti caraku yang keras kepala
selalu menantimu. Lalu aku harus kemana? Tepatnya, aku harus bagaimana? Menerimamu
yang muncul tiba-tiba dan merelakan begitu saja padahal ingin tak ada? Kamu ingin
(si)apa? Seseorang dengan perasaan sekeras batu dan sikap sediam patung? Sebab,
bagaimana mungkin aku mampu untu terus bertahan melihatmu semudah itu
berpaling, namun harus menjadi yang sangat siap ketika kamu tak menemukan
sesiapa lagi untuk berbagi?
Barangkali sejak awal kita tidak
seharusnya bertemu, agar tak ada rasa yang bertamu—agar inginku tak melulu
hanya kamu. Barangkali sejak dulu mestinya kamu mencintai aku. Biar aku jadi
yang pintar berlalu, biar aku jadi yang pura-pura lupa pernah sengaja
menyakitimu; ah, tapi apa gunanya? Jika kamu ada di posisiku, apa benar kamu
tetap memilihku meski aku tak menoleh padamu? Bahkan mengkhayalkanmu saja aku
tak berani.
Tak perlu kamu tahu sesakit apa aku,
yang kuperlu hanya kamu bilang iya untuk cintaku. Paling tidak, aku sudah
pernah mencoba untuk terjatuh, meski bukan kedua tanganmu yang menangkap hatiku
secara utuh. Memang ada yang hancur dan tidak secara baik tertata, namun paling
tidak aku selangkah lagi menuju masa yang belum ada dan penuh bahagia. Yang perlu
kamu tau, tetap memilihmu bukanlah pilihan; itu keputusan. Menyesal bukanlah
bagianku, jika bagianmu jika kelak kehilangan aku. Sebab aku berani bertaruh;
belum pernah kamu menerima hati lain yang cukup gila terus menerus peduli
terhadapmu.
Ingatlah, jika ia menyakitimu,
jangan cari aku; sebab nanti, aku yang lebih dulu menemukanmu. Jika tak mau
temukan aku, tetaplah jangan mencari. Sebab barangkali yang ingin kamu temukan bukanlah
aku, melainkan dirimu yang lain yang sejak lama ada padaku. Maka teruslah
jangan aku yang kamu cari, hanya sebab kamu tak mau merasa sendiri. Kuharap saat
itu aku telah cukup egois, dengan menutup rasa dari apapun yang kutahu bisa
membuatmu menangis.
1 MARET 2017
00:20 WIB
Kolaborasi Rasa
0 comments:
Post a Comment