Tertunda
Ada yang seharusnya punah sebelum
hati menjadi patah. Mungkin namanya asa. Ada yang seharusnya diberikan, tapi
masih disimpan Tuhan. Mungkin namanya kesempatan. Ada yang seharusnya
dihentikan, sebelum luka jadi lintasan perjalanan. Mungkin namanya perasaan.
Barangkali hati terlalu cepat jatuh pada waktu yang tak tepat. Bukan objeknya
yang salah, tapi mungkin kali ini aku harus mengalah. Kesempatan yang tadinya
terlihat begitu jelas, kini hilang semudah melayangnya kertas.
Bukan salahmu yang mungkin seperti tak menghargai perasaan. Salahku, yang berharap hanya pada kebetulan. Bukan salahmu yang tak juga sadari keberadaan. Salahku, terlalu lama di dalam tempat persembunyian. Hingga pada akhirnya semua kata kunci membawaku pada sebuah kenyataan yang harus dijalani. Bahwa meski belum dimiliki, namun ada yang telah kauberikan kepadanya dengan sepenuh hati.
Bukan salahmu yang mungkin seperti tak menghargai perasaan. Salahku, yang berharap hanya pada kebetulan. Bukan salahmu yang tak juga sadari keberadaan. Salahku, terlalu lama di dalam tempat persembunyian. Hingga pada akhirnya semua kata kunci membawaku pada sebuah kenyataan yang harus dijalani. Bahwa meski belum dimiliki, namun ada yang telah kauberikan kepadanya dengan sepenuh hati.
Entah kesempatan yang memang belum
ada, atau aku mungkin sudah pernah melewatkannya.
Maaf atas keterlambatanku untuk menyadari sepenting itu adamu. Jeda sinyal yang terlambat keluar, mungkin telah berbekal sesal. Hingga akhirnya aku tahu, kesempatan belum ada karena seseorang lain telah masuk dan membuat hatimu mulai kesempitan. Penuh, mungkin sepenuhnya menurutmu utuh. Sedangkan aku, hilang separuh dan sisanya lumpuh.
Maaf atas keterlambatanku untuk menyadari sepenting itu adamu. Jeda sinyal yang terlambat keluar, mungkin telah berbekal sesal. Hingga akhirnya aku tahu, kesempatan belum ada karena seseorang lain telah masuk dan membuat hatimu mulai kesempitan. Penuh, mungkin sepenuhnya menurutmu utuh. Sedangkan aku, hilang separuh dan sisanya lumpuh.
Jika benar putaran kesempatan pernah
kulewatkan, mungkin itulah definisi dari sebuah kesalahan yang mendewasakan.
Aku berhenti mengetuk. Bukan karena sudah hati remuk, tapi tak ingin kulihat
penghunimu mengamuk.
Barangkali akan ada kesempatan, namun tak tahu harus menunggu sampai berapa lama. Barangkali akan ada sepenggal cerita yang sedikit diubah, namun kepastiannya masih entah. Barangkali aku memang akan hidup di antara rangkaian barangkali, hanya karena belum siap untuk menghadapi. Bila nanti kesempatan memang ada, kamu tahu, akan kugunakan itu tanpa sia-sia. Sekarang, mungkin sudah cukup dengan melihatmu teramat bahagia, meski harus dengannya.
Aneh. Meski namamu masih seratus persen mengisi hati, tapi mengapa kekosongan ini tak berhenti kucicipi? Bukankah kita lahir pada kebetulan? Tapi kebetulan pulalah yang akhirnya mematikan. Bukankah kita sama-sama tahu karena sebuah pengetahuan yang disediakan? Tapi mengapa ujungnya aku merasa asing karena terlempar oleh serombongan ketidaktahuanku akanmu?
Barangkali akan ada kesempatan, namun tak tahu harus menunggu sampai berapa lama. Barangkali akan ada sepenggal cerita yang sedikit diubah, namun kepastiannya masih entah. Barangkali aku memang akan hidup di antara rangkaian barangkali, hanya karena belum siap untuk menghadapi. Bila nanti kesempatan memang ada, kamu tahu, akan kugunakan itu tanpa sia-sia. Sekarang, mungkin sudah cukup dengan melihatmu teramat bahagia, meski harus dengannya.
Aneh. Meski namamu masih seratus persen mengisi hati, tapi mengapa kekosongan ini tak berhenti kucicipi? Bukankah kita lahir pada kebetulan? Tapi kebetulan pulalah yang akhirnya mematikan. Bukankah kita sama-sama tahu karena sebuah pengetahuan yang disediakan? Tapi mengapa ujungnya aku merasa asing karena terlempar oleh serombongan ketidaktahuanku akanmu?
Dunia barumu yang sama sekali tak
menyertakan aku. Dunia baru yang terlihat ramai saat namanya tak usai kau
sebut-sebut.
Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan, ataukah semuanya hanya semata-mata harapan. Mungkin memang harus memberi waktu lebih bagi semesta, dengan rencananya yang selalu mengejutkan.Walau entah kejutannya akan membahagiakan, atau justru berupa tamparan pelan-pelan yang menyadarkan.
Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan, ataukah semuanya hanya semata-mata harapan. Mungkin memang harus memberi waktu lebih bagi semesta, dengan rencananya yang selalu mengejutkan.Walau entah kejutannya akan membahagiakan, atau justru berupa tamparan pelan-pelan yang menyadarkan.
Mari tutup segala mungkin atau
tidaknya. Sebab masih ada beberapa hal sederhana yang perlu disyukuri
keberadaannya; kedekatan kita, misalnya.
Tidak apa-apa. Aku akan menyiapkan diri, bagi yang nanti berpatenkan nama sebagai penghuni hati. Janjiku yang nomor satu, untuk berhenti cinta mungkin aku belum bisa. Karena tak semudah itu menghilangkan rasa, hanya sembuhkan hati yang sedang kucoba-coba. Selamat istirahat pelukis merah merona pada pipi, selamat bekerja dua kali lipat dari biasanya plester hati.
Tidak apa-apa. Aku akan menyiapkan diri, bagi yang nanti berpatenkan nama sebagai penghuni hati. Janjiku yang nomor satu, untuk berhenti cinta mungkin aku belum bisa. Karena tak semudah itu menghilangkan rasa, hanya sembuhkan hati yang sedang kucoba-coba. Selamat istirahat pelukis merah merona pada pipi, selamat bekerja dua kali lipat dari biasanya plester hati.
2017
0 comments:
Post a Comment