Apologia
Untuk Sebuah Nama
Akan kuceritakan kepadamu hikayat sebuah nama, yang tak asing tetapi
barangkali mulai sering lupa kita sapa.
Dialah perempuan yang pertama kali mengajarkan kita kata-kata, bahasa, nada, dan
apa saja yang membuat kita bahagia. Dialah perempuan yang pertama kali
mengajarimu memakai sepatu atau memotong kuku.
Dialah perempuan yang suatu hari akan melihat kita melangkah pergi, dengan
sepatu yang lain, meninggalkannya sendiri: menangis pilu bersama denyit
engsel pintu.
Dialah Ibumu. Nama suci yang diizinkan Tuhan untuk pertama kali kita ucapkan,
jauh sebelum nama-nama-Nya. Nama yang merangkum cinta dari seluruh sejarah
manusia. Perempuan yang tak pernah dicemburui Tuhan untuk dicintai manusia jauh
mendahuluiNya: Sebab mencintainya, juga berarti mencintai-Nya.
Di manakah dia sekarang?
Apa kabar dia sekarang?
Bagaimana perasaannya?
Jika pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah kau tanyakan untuknya, baginya pertanyaan-pertanyaan
itu akan selalu ada untukmu. Di pasar, di dapur, di kantor, di jalan, di
terminal, di tempat suci, di manapun… baginya, segala tentangmu adalah
doa: Tuhan, semoga anakku baik-baik saja!
“Ibu, aku ingin mainan baru!”
“Ma, kenapa bajuku belum dicuci, sih?”
“Mak, aku kan sudah bilang jangan terlalu sering telepon!”
“Bun, aku tak sempat membelikan oleh-oleh buat Bunda.”
“Bu, aku nggak bisa pulang lebaran ini. Waktunya sempit sekali.”
… seburuk apapun kau memperlakukannya, Ibu akan tetap bangun pagi untuk
sembahyang: mendoakan segala yang terbaik untukmu. Lalu
memasak—menyiapkan sarapan untukmu. Kemudian mencuci, menyetrika pakaianmu,
melepasmu pergi dengan senyuman dan lambaian, mencemaskanmu, menunggumu pulang,
menceritakan semua prestasimu pada teman-teman dan tetangganya, merawatmu
ketika sakit, atau dengan lugu meminta maaf: “Maaf barangkali Ibu belum bisa
membahagiakanmu.”
Dialah Ibu, perempuan yang selalu menatap kepergian kita dengan cemas—menunggu
semua kepulangan kita dengan perasaan yang waswas. Dialah perempuan yang
barangkali melupakan sakitnya sendiri untuk merawat sakit kita yang selalu
terlalu manja.
Dialah Ibumu, perempuan suci yang telah dan akan selalu menyayangimu seperti
laut melindungi terumbu. Meskipun kadang kau merasa tak bersamanya,
cintanya selalu mengalir di seluruh jalan darahmu. Hingga habis usiamu.
Ya, inilah hikayat sebuah nama, tempat segala cinta bermula dan bermuara. Tuhan
begitu menyayangi setiap Ibu, sehingga jika kita mendapatkan restunya, Tuhan
berjanji merestuimu: Lapanglah segala jalan kebaikanmu, terbukalah semua
pintu sorga untukmu.
Tetapi apabila Ibumu menangis karenamu dan kesedihan menetes sampai ke hatinya,
sebagian malaikat akan mendoakan butiran-butiran air matanya, hingga menjadi
kristal cahaya yang akan membuat sebagian malaikat lainnya merasa silau dan
marah kepadamu!
Maka tersebab kemarahan para malaikat adalah kemarahan yang suci: Tuhan tak
melarang mereka tatkala menutup segala pintu kebaikan untukmu, menggugurkan
semua pahala untuk menutup pintu-pintu sorga untukmu—hingga Ibu memaafkanmu.
Kenangkanlah, Ibu selalu mencintai kita seolah tak ada hari esok, sementara
kita terus berjanji akan membahagiakannya besok atau nanti, jika sudah selesai
dengan diri kita sendiri. Mungkin kita berjanji—diucapkan atau sekadar pada
diri sendiri—akan membelikannya rumah megah, mobil mewah, atau
memberangkatkannya naik haji. Tapi kapankah akan terjadi?
Entahlah, tidak ada yang tahu. Sementara ibu kita terus menyayangi dan
mencintai kita dengan luar biasa, meski dengan cara-cara sederhana. Kita?
Entahlah. Barangkali takdir kedua kita sebagai anak adalah (mengaku) mencintai
ibu kita, dengan pembuktian-pembuktian yang selalu tertunda.
Demikianlah hikayat sebuah nama, yang tak asing tetapi mulai sering lupa kita
sapa: IBU. Perempuan yang pertama kali mengajarkan kita dua kata sederhana,
“terimakasih” dan “maaf”, untuk tak pernah kita ungkapkan dua kata sederhana
itu kepadanya.
Akankah tiba saatnya kita mengenangnya hanya sebatas nama, sambil mengumpulkan
satu per satu helai-helai rambutnya yang rontok dan keperakan—dari baju hangat
peninggalannya?
Akankah tiba saatnya bagi kita ketika semuanya sudah terlambat, sementara sesal
tak akan sanggup mengembalikan lagi senyumnya—lembut matanya?
Ya, barangkali ibu kita memang bukan ibu terbaik di dunia, sebab kita juga
bukan anak terbaik di dunia. Ibu tak pernah menghitung apapun untuk tulus
mencintai kita. Maka tak perlu menghitung apapun, cintailah ia dengan
sederhana—sejauh yang kita bisa.
Semoga kita belum terlambat!
hari pun terus berlalu
tak terasakan olehku
ku telah sering
melukai hatimu
namun kau sabar
menunggu
terus berdoa untukku
kapankah ku akan sadar hal itu
maafkan aku
membuat menangis sendu
ku tak bermaksud
mengecewakanmu
oh Ibu,
berikanlah kasihmu
hadapi kelakuanku
semua sifat burukku
oh Ibu,
berikanlah maafmu
sungguh bukan maksudku
membuatmu menangis sendu
waktu pun terus berlalu
tak bisa kuubah masa lalu
tak bisa kulupa semua
kejahatanku
namun bila kau dengar lagu
lagu yang tercipta untukmu
kumohon maafkanlah
semua kesalahanku
Home »
» Apologia Untuk Sebuah Nama
Apologia Untuk Sebuah Nama
Posted by CB Blogger
|
0 comments:
Post a Comment