Aku selalu menganggap, rela menunggu
seseorang itu tidak berarti bodoh, itu hanya berarti teguh pendirian. Karena
sekuat apapun kita menyangkal sesuatu yang dikatakan oleh hati, sekuat itu pula hati kita akan berusaha mendesak.
Mungkin karena itulah aku tidak bisa
meninggalkanmu sendirian, meski dengan biadabnya kau bertingkah seolah aku
adalah buku harian yang Cuma kau isi dengan keluh-kesahmu, tanpa perlu kau
tanyakan bagaimana perasaanku.
Kemudian, kau mencari penghilang rasa sakit untuk meredakan
hari-harimu yang suram. Akupun—dengan sukarela—menjadi pameran pengganti untuk
meredakan malam-malammu yang muram. Aku yang mendengarkanmu hingga jam satu
pagi, adalah aku yang kau nafikan lagi dan lagi. Kau yang masih tenggelam dalam
kenangan adalah apa yang ingin ku selamatkan. Celakanya, aku malah ikut
terbenam dalam scenario yang kau ciptakan. Dan kita menjadi terbiasa untuk
pura-pura tertawa. Padahal kau dan aku tau, aku mendambakanmu yang
mendambakannya.
Sampai kapan kita harus begini?
Sampai nyaliku terkumpul untuk kau hempaskan? Atau sampai kau terbang lagi
menuju pelukan yang lainnya? Ternyata, menjadi
juara kedua itu sama saja dengan berpacaran dengan seseorang yang tidak pernah
ada secara nyata. Kalau kau benar-benar menyayangiku, kau takkan menjadikanku
juara kedua dari sejak awal. Menyebalkan!
Aku ingin kau rindukan , aku ingin
kau kejar, aku ingin kau buatkan puisi, dan aku ingin kau dan aku menjadi kita.
Lalu aku akan bertingkah tak peduli agar kau tau rasanya menjadi aku.
0 comments:
Post a Comment