Tentang Kita
12 bulan yang lalu…
Senja itu
aku tertunduk sesaat setelah mata asingmu memandangku. Tetapi kau duduk dan
membelai kepalaku. Ada perasaan yang tak bisa kujelaskan : angin berhembus
perlahan, kantung plastic hitam melayang dimulut gang. Melambat.
“ikutlah
dengan ku, aku akan menjagamu”. Katamu
Kamu tidak
tersenyum. Tetapi aku bisa merasakan ketulusanmu: dari sanalah kisah tentang
kita bermula.
5 bulan yang lalu…
Sejak hidup bersama, ikatan
perasaan diantara kita semakin kuat: kau begitu perhatian dan aku tau banyak
hal tentang dirimu. Entah bagaimana sejak bersamamu, aku selalu ingin berada
didekatmu: Menyusup ke balik
selimutmu, atau mengelus betismu, atau berusaha menjawab semua
pertanyaanmu.
Aku senang kau menerimaku sebagai diriku sendiri: Terutama saat kau membelaiku,
atau menyuapiku, atau tersenyum padaku.
2 bulan yang lalu
Meski hidup bersama, kita bukan sepasang kekasih. Ya, kita hanya teman. Lebih
dari itu, mungkin sahabat—jika tidak berlebihan.
Malam itu, aku memandang dahimu yang mengerut sesaat setelah kau mengakhiri
percakapan dengan Santi di telepon. “Ah! Ternyata nggak ada cinta yang murni
di dunia ini! Aku muak dengan hubungan yang penuh kepentingan! Aku kira Santi
berbeda, ternyata sama saja!” katamu kesal, setengah berteriak.
Kau melemparkan telepon genggammu sebelum menghempaskan dirimu ke tempat tidur.
Aku berjalan perlahan ke arah kursi. Sekilas, kau melihat ke arahku. Aku
memilih diam, tak ingin memperburuk suasana.
Ah, lagi-lagi Santi yang membuatmu bersedih. Tapi mengapa manusia suka
mempertahankan hubungan yang jelas-jelas tak membuat mereka bahagia? Aku
hanya bisa mengajukan pertanyaan itu dalam hati.
Lalu kita duduk di kursi yang sama. Kau membelai kepalaku, aku beringsut ke
ketiakmu.
“Barangkali memang sudah tiba saatnya buatku untuk berpisah dengan Santi.”
katamu. Sungguh, aku bahagia mendengarnya.
Kemarin
Kamu memang baik hati, juga tampan: Perempuan datang dan pergi dalam
kehidupanmu. Bagimu, perpisahan selalu merupakan kata lain bagi sebuah
perjumpaan baru. Setelah Santi, ada Tania yang kini menjadi kekasihmu: Dia
cantik, dia baik, sayangnya dia tidak suka padaku.
Tania begitu dominan dalam hubungan kalian. Ia mengintervensi banyak hal dalam
kehidupanmu: Keuangan, rutinitas, pekerjaan, hingga pertemanan. Semua yang
membuatku bertanya-tanya...
Cinta macam apa yang mengekang kebebasan? Cinta macam apa yang
memisahkan ‘aku’ dari ‘kamu’? Cinta macam apa yang
memposisikan ‘aku’ lebih tinggi dan berkuasa daripada ‘kamu’?
Cinta macam apa yang tak sanggup menampung ketulusan dan keluasan makna dari
kata ‘kita’?
“Sayang, pokoknya besok aku nggak mau lagi ada dia di sini, ya...”
Demikianlah, sambil menunjuk hidungku, tiba juga saatnya kata-kata lembut Tania
menuntut perpisahan kita: Ia tak menginginkan keberadaanku di
tengah-tengah kalian.
“Tapi...” kamu berusaha menjelaskan.
“Aku nggak perlu alasan apapun, Sayang...” Ah, Tania memang tak ingin
mendengar alasan apa-apa lagi darimu, ia hanya ingin aku pergi. Titik. “Kamu
lebih sayang aku atau dia?” Tania mengeluarkan jurus andalannya.
Kamu tertunduk lesu. Lalu melihat ke arahku. Aku tak bisa berkata
apa-apa: Keputusan sepenuhnya ada di tanganmu—meski aku tahu kamu tak
mungkin memilihku.
Sekarang
Akhirnya tiba juga waktunya. Sejak pertama kali kau mengajakku ke rumahmu, aku
sadar rumah itu bukan tempat tinggalku untuk selama-lamanya. Dan
ternyata: Hari inilah kita harus berpisah.
Aku masih bisa merasakannya: Kau membelai halus bulu-buluku sebelum
kita berpisah dan menjalani hidup masing-masing seperti sebelum kita bertemu.
Aku berjalan perlahan menjauhi tempatmu berdiri, menuju kehidupanku sendiri.
Aku tak bisa menangis, meski sejujurnya sangat bersedih. Terima kasih sudah
menjadi teman dan sahabat. Terima kasih untuk semua cerita tentang
‘kita’: Aku dan kamu.
Aku bahagia kalau kamu bahagia. Semoga kalian berbahagia, tentu saja.
--12 Februari 2016--
0 comments:
Post a Comment