Home » » Sesuatu Yang Tumbuh Diam—diam

Sesuatu Yang Tumbuh Diam—diam

Posted by CB Blogger




Setelah perkenalan kita kala itu, aku berharap segalanya akan kembali normal. Kau kembali ke langit (tempat semestinya bintang berada), dan aku kembali ke bumi, tenggelam dalam rutinitas. Hidupku sudah teramat tenang, dan aku tidak ingin secuil adegan perkenalan denganmu menjadi efek kupu-kupu yang merusak banyak rencanaku di masa depan. Percayalah , aku sudah pernah bergumul dengan asmara, dan patah hati yang ditimbulkannya tidak berdampak baik. Aku tidak membutuhkan drama untuk saat ini.

Namun, nahasnya, sebuah “hai! Apa kabar?” darimu kembali membuyarkan fokusku. Mati-matian aku berkatapada cermin bahwa perasaan untukmu hanyalah euphoria sesaat, yang akan hilang dalam hitungan hari. Semudah itu kau kembali menyeretku menjadi budakmu. Dan bayangan di cermin mengejekku, “makan itu cinta!” katanya puas.
Cinta selalu bersemi ditempat, waktu , dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari ditengah temaram; hujan diantara gersang. Cinta tidak pernah datang tiba-tiba; ia akan mengendap-endap menyusup ke dalam urat nadimu, meledakkan jantungmu, dan meninggalkanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya.

Dan, aku hanya mampu jadi korban dari kerinduan yang  mencekik; yang tersenyum dengan pipi merah merona tatkala kau menyapaku. Bak anak kecil menemukan mainannya yang paling di—idamkannya, memimpikanmu terasa menyenangkan. Meski kau hanya dapat kupandangi dari luar etalase. Kau terlalu mahal untuk kutebus. Atau, apakah perlu aku menjadi penjahat saja? Yang mencurimu hanya karena aku tak rela orang lain menikmati keindahanmu?
Ku tampar pipiku sendiri. Bukan! Aku bukan anak kecil dank au bukan mainan. Hatimu bukan untuk kucuri, melainkan untuk ku minta baik—baik.

Sebuah “hai! Apa kabar?” mampu membuat seseorang gagal move on. Aku mulai intens berbincang denganmu. Setelah “hai! Apa kabar?”, ada “jangan lupa makan”, dan “selamat tidur”. Dan disetiap obrolan kita, aku selalu berusaha mati—matian untuk terfokus pada kata-katamu. Sulit bagiku mendengarkanmu, jika parasmu mendistraksiku lagi dan lagi.
Kali ini, aku tidak bisa mengelak. Aku yakin bahwa hatiku sudah ada digenggamanmu; menjadi hak mili untuk kau rawat atau mungkin kau hancurkan. Namun, tak perlulah aku berpikir terlalu jauh. Sekarang yang terpenting adalah mengatur siasat agar posisi kita berimbang. Aku pun harus bisa menggengam hatimu. Karena entah kau sejauh langit, atau sedekat langit-langit bagiku kau bintang yang aku puja setengah mati.


0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Sample text

Sample Text

Social Icons

Followers

Featured Posts