Setelah
perkenalan kita kala itu, aku berharap segalanya akan kembali normal. Kau
kembali ke langit (tempat semestinya bintang berada), dan aku kembali ke bumi,
tenggelam dalam rutinitas. Hidupku sudah teramat tenang, dan aku tidak ingin
secuil adegan perkenalan denganmu menjadi efek kupu-kupu yang merusak banyak
rencanaku di masa depan. Percayalah , aku sudah pernah bergumul dengan asmara,
dan patah hati yang ditimbulkannya tidak berdampak baik. Aku tidak membutuhkan
drama untuk saat ini.
Namun,
nahasnya, sebuah “hai! Apa kabar?” darimu kembali membuyarkan fokusku.
Mati-matian aku berkatapada cermin bahwa perasaan untukmu hanyalah euphoria
sesaat, yang akan hilang dalam hitungan hari. Semudah itu kau kembali
menyeretku menjadi budakmu. Dan bayangan di cermin mengejekku, “makan itu
cinta!” katanya puas.
Cinta selalu
bersemi ditempat, waktu , dan situasi yang tidak terduga. Ia laksana mentari
ditengah temaram; hujan diantara gersang. Cinta tidak pernah datang tiba-tiba;
ia akan mengendap-endap menyusup ke dalam urat nadimu, meledakkan jantungmu,
dan meninggalkanmu terbakar habis bersama bayang-bayangnya.
Dan, aku
hanya mampu jadi korban dari kerinduan yang
mencekik; yang tersenyum dengan pipi merah merona tatkala kau menyapaku.
Bak anak kecil menemukan mainannya yang paling di—idamkannya, memimpikanmu
terasa menyenangkan. Meski kau hanya dapat kupandangi dari luar etalase. Kau
terlalu mahal untuk kutebus. Atau, apakah perlu aku menjadi penjahat saja? Yang
mencurimu hanya karena aku tak rela orang lain menikmati keindahanmu?
Ku tampar
pipiku sendiri. Bukan! Aku bukan anak kecil dank au bukan mainan. Hatimu bukan
untuk kucuri, melainkan untuk ku minta baik—baik.
Sebuah “hai!
Apa kabar?” mampu membuat seseorang gagal move on. Aku mulai intens berbincang
denganmu. Setelah “hai! Apa kabar?”, ada “jangan lupa makan”, dan “selamat
tidur”. Dan disetiap obrolan kita, aku selalu berusaha mati—matian untuk
terfokus pada kata-katamu. Sulit bagiku mendengarkanmu, jika parasmu
mendistraksiku lagi dan lagi.
Kali ini,
aku tidak bisa mengelak. Aku yakin bahwa hatiku sudah ada digenggamanmu;
menjadi hak mili untuk kau rawat atau mungkin kau hancurkan. Namun, tak
perlulah aku berpikir terlalu jauh. Sekarang yang terpenting adalah mengatur
siasat agar posisi kita berimbang. Aku pun harus bisa menggengam hatimu. Karena
entah kau sejauh langit, atau sedekat langit-langit bagiku kau bintang yang aku
puja setengah mati.
0 comments:
Post a Comment